Pensyariatan Peradilan
KITAB PERADILAN
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Pensyari’atan Peradilan
Peradilan disyari’atkan oleh al-Qur-an, as-Sunnah, dan Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah…” [Al-Maaidah/5: 49]
Dia juga berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil…” [Shaad/38: 26]
Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.” [1]
Demikian pula kaum muslimin, mereka telah bersepakat (ijma’) akan disyari’atkannya peradilan.
Hukum Peradilan
Hukum peradilan adalah fardhu kifayah. Menjadi kewajiban atas imam untuk menunjuk hakim pada suatu daerah sesuai dengan kebutuhan. Yang menjadi dasar hal ini adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi hakim atas masyarakatnya dan mengutus ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu ke Yaman untuk melaksanakan peradilan. Para Khulafa-ur Rasyidin pun menjadi hakim, dan mempekerjakan para gubernur di berbagai pelosok negeri.[2]
Keutamaan Peradilan
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَآخَرُ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا.
“Tidak boleh hasad kecuali pada dua hal; (1) seseorang yang diberi harta oleh Allah, kemudian ia menggunakannya di jalan yang benar dan (2) orang yang diberikan ilmu lalu ia memutuskan perkara dan mengajari manusia dengannya.” [3]
Kedudukan Dan Pentingnya Peradilan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّيْنٍ.
“Barangsiapa dijadikan hakim oleh masyarakat, maka ia telah disembelih tanpa pisau.” [4]
Dari Abu Buraidah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ اثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ.
“Hakim itu ada tiga macam, dua di Neraka dan satu masuk Surga; (1) seorang hakim yang mengetahui kebenaran lalu memberi keputusan dengannya, maka ia di Surga, (2) seorang hakim yang mengadili manusia dengan kebodohannya, maka ia di Neraka, dan (3) seorang hakim yang menyimpang dalam memutuskan hukuman, maka ia pun di Neraka.” [5]
Larangan Meminta Jabatan Sebagai Hakim
Dari ‘Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ لاَ تَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا.
‘Wahai ‘Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan, sesungguhnya apabila engkau diberi karena meminta, maka ia akan diserahkan sepenuhnya kepadamu. Namun apabila engkau diberi tanpa meminta, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya.’” [6]
Kriteria Seorang Hakim
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fat-h (XIII/146), “Berkata Abu ‘Ali al-Karabisi, pengikut Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya Aadaab al-Qadhaa’ berkata, ‘Aku tidak melihat adanya khilaf di kalangan ulama Salaf bahwa orang yang paling pantas menjadi hakim bagi kaum muslimin adalah orang yang jelas keutamaannya, kejujurannya, ilmunya, dan kewara’annya. Ia seorang pembaca (penghafal) al-Qur-an sekaligus mengetahui banyak hukum-hukumnya. Mempunyai pengetahuan tentang Sunnah-Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan para Sahabat serta banyak menghafalnya. Mengetahui kesepakatan, perselisihan, dan perkataan-perkataan ahli fiqih dari kalangan Tabi’in. Mengetahui mana yang shahih dan yang cacat (lemah). Memecahkan persoalan nawazil (terkini) dengan al-Qur-an. Apabila ia tidak mendapatkan di dalamnya, maka dengan as-Sunnah, bila tidak ada ia menggunakan apa yang para Sahabat telah bersepakat atasnya. Apabila ia dapatkan Sahabat berselisih dalam hal itu dan tidak ada kejadian serupa dalam al-Qur-an maupun as-Sunnah, maka ia menggunakan fatwa pembesar Sahabat yang telah diamalkan.
Hendaknya ia pun banyak belajar (mudzakarah) dan musyawarah dengan penuh adab dan kesopanan bersama para ulama. Menjaga lisan, perut, dan kemaluannya. Bisa memahami perkataan orang-orang yang menentangnya, kemudian ia harus tenang dan menjauhi hawa nafsu.’
Kemudian beliau berkata, ‘Inilah kriterianya, walaupun kita mengetahui bahwa tidak ada seorang pun di atas bumi ini yang memenuhi semua sifat, namun hendaknya yang diminta untuk menjadi hakim adalah orang yang paling sempurna dan mulia di kalangan masyarakatnya.’”
Wanita Tidak Boleh Menjadi Hakim
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Allah telah memberiku manfaat dengan satu kalimat pada saat perang Jamal. Tatkala sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kaum Faris menjadikan puteri Kisra sebagai pemimpin. Beliau bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً.
‘Tidak akan pernah sukses suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita.’”[7]
Adab-Adab Seorang Hakim
Seorang hakim harus adil kepada semua pihak yang berselisih dalam hal lirikan (pandangan mata), kata-kata, cara duduk dan cara masuk kepada mereka.
Dari Abul Malih al-Hudzali, ia berkata, “‘Umar bin al-Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari: ‘Amma ba’du, sesungguhnya peradilan adalah hukum yang harus ditegakkan dan Sunnah yang harus diikuti. Maka pahamilah ketika jabatan diserahkan kepadamu, sesungguhnya bicara tanpa disertai pelaksanaan tidaklah bermanfaat. Setarakan manusia di dalam pancaran wajah, cara duduk, dan keadilanmu sehingga orang-orang mulia tidak mengharap kecelakaan bagimu.’” [8]
Seorang Hakim Diharamkan Menerima Uang Suap dan Hadiah
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي.
‘Laknat Allah atas orang yang menyuap dan menerima suap.’” [9]
Dari Abu Hamid as-Sa’idi Radhiyallahu a’nhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ.
“Hadiah kepada pejabat adalah penghianatan.”[10]
Diharamkan bagi Hakim untuk Mengadili dalam Keadaan Marah
Dari ‘Abdul Malik bin ‘Umair, ia berkata, “Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah berkata, ‘Abu Bakrah menulis surat untuk anaknya yang berada di Sijistan: ‘Janganlah engkau mengadili dua orang sedangkan engkau dalam keadaan marah, karena aku mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ.
‘Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara di antara dua orang dalam keadaan marah.’” [11]
Keputusan Hakim Bukanlah Ukuran Kebenaran
Barangsiapa diberikan keputusan hukum untuk menzhalimi hak saudaranya, maka ia tidak boleh melaksanakannya. Karena keputusan hakim tidak bisa menghalalkan yang haram dan meng-haramkan yang halal.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhuma-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar pertengkaran di depan pintu kamarnya, kemudian beliau keluar menemui mereka, seraya bersabda:
أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّهُ يَأْتِينِي الْخَصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَبْلَغَ مِنْ بَعْضٍ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ صَدَقَ فَأَقْضِيَ لَهُ ذَلِكَ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ فَلْيَأْخُذْهَا أَوْ لِيَتْرُكْهَا نَّمَا
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa. Ketika aku didatangi orang yang bertengkar, bisa jadi sebagian lebih fasih dari yang lain, sehingga aku menduga ia jujur. Lalu aku memutuskan untuk memenangkannya. Maka barangsiapa yang telah aku putuskan perkaranya namun mengambil hak seorang muslim, maka itu hanyalah bagian dari Neraka. Ia boleh mengambil, boleh pula meninggalkannya.” [12]
Dakwaan (Tuduhan) dan Bukti
Ad-Da’aawaa ( اَلدَّعَاوَى ) jamak dari ad-da’wa ( اَلدَّعْوَى ) yang berarti tuduhan. Secara bahasa berarti permintaan, sebagaimana firman Ta’ala:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
“Kamu memperoleh (pula) di dalamnya (Surga) apa yang kamu minta.” [Al-Fushshilat/41: 31]
Sedang menurut istilah adalah pengakuan manusia bahwa ia mempunyai hak yang berada di tangan orang lain atau berada da-lam tanggungannya.
Al-Mudda’i ( اَلْمُدَّعِى ) adalah orang yang meminta hak (pendakwa). Apabila ia tidak menuntut permintaan, maka perkara ditutup.
Al-Mudda’a ‘alaih ( اَلْمُدَعَى عَلَيْهِ ) orang yang dimintai hak (terdakwa). Apabila ia diam, ia tidak bisa dibiarkan (harus ditindak lanjuti).
Al-Bayyinah (bukti) adalah keterangan, seperti saksi dan lain sebagainya.
Dasar semua ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ وَلَكِنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.
“Seandainya manusia diberikan apa yang mereka tuntut, sungguh mereka akan meminta darah dan harta orang lain, akan tetapi sumpah diwajibkan atas orang yang dimintai hak (terdakwa).”[13]
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radhiyallahu ‘anhum, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.
“Pembuktian diwajibkan atas orang yang menuduh, dan sumpah atas orang yang dituduh.” [14]
Dosa bagi Orang yang Menuntut Sesuatu yang Bukan Haknya
Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa menuntut sesuatu yang bukan haknya, maka ia bukan dari golongan kami, dan hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dari api Neraka.”[15]
Dosa Bagi Orang Yang Bersumpah Palsu Untuk Mengambil Harta Orang Lain
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ وَهُوَ فِيهَا فَاجِرٌ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ.
“Barangsiapa bersumpah untuk mengambil harta seorang muslim, padahal ia berdusta dalam sumpahnya itu. Sungguh ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.” [16]
Dari Abu Umamah al-Haritsi Radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْتَطِعُ رَجُلٌ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ، وَأَوْجَبَ لَهُ النَّارَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيْرًا؟ قَالَ وَإِنْ كَانَ سِوَاكًا مِنْ أَرَاكٍ.
“Tidaklah seseorang mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya kecuali Allah mengharamkan Surga baginya dan mewajibkan baginya untuk masuk Neraka.” Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, walaupun hanya sesuatu yang tidak berharga?” Beliau bersabda, “Walaupun itu hanya sebuah siwak dari pohon arak.”[17]
Cara Penetapan Dakwaan
Cara penetapan dakwaan adalah dengan pengakuan, kesaksian, dan sumpah. [18]
Pengakuan
Pengakuan adalah pernyataan terdakwa atas suatu hak. Dan menghukum terdakwa dengan pengakuan tersebut adalah jika orang yang mengaku itu mukallaf dan tidak dipaksa.[19]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merajam Ma-iz, al-Ghamidiyyah, dan al-Juhniyyah dengan pengakuan mereka.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda,
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجَمْهَا.
“Wahai Unais, pergi dan temuilah isteri laki-laki ini, apabila ia mengaku (berzina), maka rajamlah ia.” [20]
Kesaksian
Kesaksian untuk membela hak sesama adalah fardhu kifayah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا
“…Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…” [Al-Baqarah/2: 282]
Sedangkan pelaksanaannya fardhu ‘ain berdasarkan firman-Nya:
وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ
“…Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, barang-siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya…” [Al-Baqarah: 283]
Seorang saksi harus berkata jujur walaupun terhadap dirinya sendiri, berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَن تَعْدِلُوا ۚ وَإِن تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walau pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” [An-Nisaa’/4: 135]
Dan dilarang bersaksi tanpa memiliki pengetahuan, berdasarkan firman Ta’ala:
وَلَا يَمْلِكُ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِهِ الشَّفَاعَةَ إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at adalah) orang yang mengakui yang haq (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” [Az-Zukhruf/43: 86]
Kesaksian palsu termasuk dosa besar, dengan dalil hadits Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ قُلْنَا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ، وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ، فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ.
‘Maukah kalian aku beritahu tentang dosa besar yang paling besar?’ Kami menjawab, ‘Mau, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Menyekutukan Allah, durhaka pada kedua orang tua.’ Pada saat itu beliau bertelekan kemudian duduk dan bersabda, ‘Ketahuilah, dan perkataan dusta serta kesaksian palsu.’ Beliau tidak henti-hentinya mengulangi kalimat tersebut, sampai kami katakan (dalam hati), ‘Seandainya beliau diam.’”[21]
Orang yang Diterima Kesaksiannya
Tidaklah diterima kesaksian seseorang kecuali dari seorang muslim, baligh, berakal, dan adil.
Maka tidak bisa diterima kesaksian seorang kafir walaupun memenuhi kriteria yang lain. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
“… Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu...” [Ath-Thalaaq/65: 2]
Juga firman-Nya:
مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“…Dari saksi-saksi yang kamu ridhai…” [Al-Baqaraah/2: 282]
Dan orang kafir bukanlah orang yang adil, tidak diterima, dan bukan dari golongan kita.
Juga tidak diterima persaksian anak kecil, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki (di antaramu)…” [Al-Baqaraah/2: 282]
Dan anak kecil bukanlah rijaal (orang dewasa) di antara kita.
Selain itu juga tidak diterima kesaksian orang sinting, gila, dan semisalnya, sebab perkataan terhadap dirinya sendiri saja tidak bisa diterima, apalagi terhadap orang lain.
Tidak diterima kesaksian orang fasiq, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
“… Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu...” [Ath-Thalaaq/65: 2]
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ تَجُوْزُ شَهَادَةُ خَائِنٍ وَلاَ خَائِنَةٍ وَلاَ ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيْهِ.
“Tidak bisa diterima persaksian pengkhianat baik laki-laki maupun wanita, juga orang yang memiliki kedengkian pada saudaranya.” [23]
Jenis-Jenis Kesaksian
Terdapat dua macam hak; (1) hak Allah dan (2) hak manusia.
Adapun hak sesama manusia, maka kesaksian dibagi menjadi tiga macam:
1. Kesaksian yang tidak bisa diterima kecuali dengan dua orang saksi laki-laki.
Yaitu kesaksian yang tidak berkaitan dengan harta, dan kewanangannya dipegang oleh laki-laki sebagaimana nikah dan thalaq.
Allah berfirman:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu...” [Ath-Thalaaq/65: 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” [24]
Dalam ayat dan hadits di atas, lafazh syaahid (saksi) berbentuk mudzakar (laki-laki).
2. Kesaksian yang bisa diterima dengan dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang wanita, atau bisa juga seorang saksi dan sumpah orang yang menuduh.
Yaitu kesaksian yang berkaitan dengan harta, seperti jual-beli, sewa, gadai, dan lain sebagainya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki (di antaramu). Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya…” [Al-Baqarah/2: 282]
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadili dengan sumpah dan seorang saksi. [25]
3. Kesaksian yang bisa diterima dengan dua orang saksi laki-laki, atau seorang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita, atau empat orang saksi wanita.
Yaitu kesaksian pada permasalahan yang biasanya bukan menjadi kewenangan laki-laki, seperti persusuan, kelahiran, dan aib bagian dalam bagi wanita.
Adapun hak Allah, maka persaksian wanita tidak bisa diterima, sebagaimana perkataan az-Zuhri, “Tidaklah seseorang dihukum cambuk karena suatu hukuman hadd melainkan dengan persaksian laki-laki.”
Hal ini terbagi menjadi tiga bagian:
1. Kesaksian yang tidak bisa menerima kurang dari empat orang saksi, yaitu persaksian zina.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan…” [An-Nuur/24: 4]
2. Kesaksian yang bisa diterima dengan dua orang saksi.
Yaitu semua hukuman hadd kecuali zina, berdasarkan perkataan az-Zuhri di atas.
3. Kesaksian yang bisa diterima dengan seorang saksi.
Yaitu kesaksian yang berkenaan dengan hilal Ramadhan.
Sumpah
Apabila penuduh tidak bisa mendatangkan bukti, dan tertuduh mengingkari tuduhan, maka penuduh tidak mempunyai hak apa-apa kecuali meminta tertuduh bersumpah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِيْنُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ.
“Pembuktian diwajibkan atas orang yang menuduh, dan sumpah atas orang yang dituduh.” [27]
Dari al-Asy’ab bin Qais al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Pernah terjadi percekcokan antara aku dan seseorang karena sebuah sumur. Lalu kami mengajukan perkara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
شَاهِدَاكَ أَوْ يَمِينُهُ قُلْتُ: إِنَّهُ إِذًا يَحْلِفُ وَلاَ يُبَالِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى اللَّه عليه وسلم: مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً وَهُوَ فِيهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ. فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيقَ ذلِكَ ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ اْلآيَةَ إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَٰئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
‘Engkau datangkan saksimu atau ia bersumpah.’ Lalu aku berkata, ‘Kalau begitu ia akan bersumpah tanpa peduli akibatnya.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa bersumpah untuk mengambil harta milik seorang muslim, padahal ia berdusta dalam sumpahnya itu, ia akan menemui Allah dalam keadaan Dia murka.’ Kemudian Allah menurunkan ayat yang membenarkannya, lalu beliau membaca ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat ba-gian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.’ [Ali ‘Imran/3: 77].” [28]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/318, no. 7352), Shahiih Muslim (III/ 1342, no. 1716), Sunan Abi Dawud (IX/488, no. 3557), Sunan Ibni Majah (II/ 776, no. 2314).
[2]. Manaarus Sabiil (II/453)
[3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/298, no. 7316), Shahiih Muslim (I/ 559, no. 816), Sunan Ibni Majah (II/1407, no. 4208).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6190)], Sunan Abi Dawud (IX/486, no. 3555), Sunan at-Tirmidzi (II/393, no. 1340), Sunan Ibni Majah (II/774, no. 2308).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4446)], Sunan Abi Dawud (IX/487, no. 3556), Sunan Ibni Majah (II/776, no. 2315).
[6]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/123, no. 7146), Shahiih Muslim (III/ 1273, no. 1652), Sunan Abi Dawud (VIII/147, no. 2913), Sunan at-Tirmidzi (III/42, no. 1568), Sunan an-Nasa-i (VIII/225).
[7]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5225)], Shahiih al-Bukhari (XIII/53, no. 7099), Sunan at-Tirmidzi (III/360, no. 2365), Sunan an-Nasa-i (VIII/227).
[8]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2619)]
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1871)], Sunan Ibni Majah (II/775, no. 2313), Sunan at-Tirmidzi (III/360, no. 2365), Sunan an-Nasa-i (VIII/227).
[10]. Shahih: [Al-Irwaa’ (no. 2622)], Ahmad dalam al-Fat-hur Rabbani (V/424), al-Baihaqi (X/138).
[11]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XIII/136, 7158), Shahiih Muslim (III/1342, no. 1717), Sunan at-Tirmidzi (II/396, no. 1349), Sunan Abi Dawud (IX/506, no. 3572), Sunan an-Nasa-i (VIII/233), Sunan Ibni Majah (II/777, no. 2318).
[12]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/107, no. 2458), Shahiih Muslim (III/ 1337, no. 1713 (5)), Sunan Abi Dawud (IX/500, no. 3566), Sunan at-Tirmidzi (II/398, no. 1354), Sunan an-Nasa-i (VIII/233), Sunan Ibni Majah (II/777, no. 2318).
[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (III/1336, no. 1711), Shahiih al-Bukhari (VIII/ 213, no. 4551) dalam sebuah kisah, Sunan Ibni Majah (II/778, no. 2321).
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2896)], Sunan at-Tirmidzi (II/399, no. 1356).
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah )no. 1877(], Shahiih Muslim (I/79, no. 61), Sunan Ibni Majah (II/399, no. 1356).
[16]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (XI/558, no. 6677, 76), Shahiih Muslim (I/122, no. 138), Sunan Abi Dawud (VIII/68, no. 3227), Sunan at-Tirmidzi (IV/292, no. 4082), Sunan Ibni Majah (II/778, no. 2323).
[17]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1882)], Sunan Ibni Majah (II/779, no. 2324), hadits serupa Shahiih Muslim (I/122, no. 137), Sunan an-Nasa-i (VIII/246).
[18]. Fiq-hus Sunnah (III/328)
[19]. Manaarus Sabiil (II/505).
[20]. Lihat takhrijnya di Bab Hadd Zina.
[21]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (V/261, no. 2654), Shahiih Muslim (I/91, no. 87).
[22]. Manaarus Sabiil (II/486).
[23]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1916), Sunan Abi Dawud (X/10, no. 3584), Sunan Ibni Majah (II/792, no. 2366) dan di tengah-tengah riwayatnya terdapat kalimat: “ وَلاَ مَحْدُوْدٌ فِي اْلإِسْلاَمِ (Juga dari persaksian orang yang dilarang dalam Islam (untuk memberi kesaksian).”
[24]. Telah disebutkan takhrijnya.
[25]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah, no. 1920], Shahiih Muslim (III/1337, no. 1712), Sunan Ibni Majah (II/793, no. 2370), Sunan Abi Dawud (X/28, no. 3591).
[26]. Lihat kembali Kitab Puasa.
[27]. Telah disebutkan takhrijnya.
[28]. Telah disebutkan takhrijnya.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/944-kitab-peradilan.html